Conclave dan Minggu Sengsara 2025

Jumat, 11 April 2025 23:38 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Yesus Memanggul Salib Ke Golgota
Iklan

Resensi film Conclave yang menjadi perenungan Makna kisah salib dalam kehidupan umat manusia

Conclave dan Minggu Sengsara

              Pada saat kita memasuki Hebdomada Sancta atau 7 hari perayaan sengsara dan kebangkitan Kristus, dunia dan Indonesia telah disiapkan dengan sebuah flim bioskop berjudul Conclave, yang mengkisahkan pergumulan pimpinan Gereja Katolik Roma dalam pengambilan Keputusan yang sangat pemting. Ya, film itu mengangkat plot pemilihan Sri Paus yang merupakan pimpinan tertinggi Gereja Katolik Roma yang memiliki umat mendekati 1,5 milyar penduduk dunia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

              Kisah Conclave,  yang secara maknawi awal berarti “bersama dengan kunci” (clavis), atau terkunci bersama untuk sebuah pengambilan Keputusan penting. Dalam hal ini secara tradisi Pertemuan Rahasia yang seharusnya semua pembicaraan dan Keputusan yang diambil harus berhenti di empat tembok Kapel Sistina di Vatikan dimana rapat pemilihan Paus diadakan. Bukan hanya rahasis, tapi Conclave, dibuat “terkunci” agar para kardinal dapat membuat keputusan yang murni, terlepas dari pengaruh luar.

              Umat yang menantikan hasil pemilihan akan diberikan “bocoran” awal ketika Asap Putih keluar dari cerobong atap menandakan seorang Paus sudah terpilih. Kemudian secara resmi pemimpin sidang Conclave akan mengatakan , "annuntio vobis gaudium magnum, habemus papam" yang sudah diucapkan sejak pemilihan Paus pada tahun 1417 (Martinus V) yang berarti “Kami umumkan dengan penuh sukacita, kita memiliki Paus Baru”. Sungguh sebuah proses yang penuh dengan roh spiritualitas dan keagungan yang luar biasa.

Namun tradisi yang sangat elegan dan penuh dengan kekhidmatan itu didekonstruksikan  dalam Film Conclave menjadi kisah umat manusia biasa. Film yang diadaptasi dari novel tulisan penyair Inggris Robert Harris (2016) ini disajikan dengan menjadikan tradisi Conclave dalam versi “kenosis”. Semuanya dikosongkan dalam “inkarnasi” menjadi manusia biasa yang menunjukkan bahwa para Kardinal, pemimpin umat Katolik berbagai negara bangsa, adalah manusia biasa yang sama dengan kebanyakan dari kita.

Plot yang disajikan penuh dengan intrik dan persaingan antar faksi dilengkapi dengan berbagai strategi menjatuhkan satu calon oleh yang lain. Bahkan kisah yang seharusnya “sakral” dalam pemilihan pemimpin Gereja Katolik dunia ini “diturunkan” menjadi sebuah persaingan politik yang murahan, bagaikan trik para politikus busuk memenangkan kursi kekuasaan. Penonton disajikan dengan kemanusiaan yang utuh dari para pemimpin gereja, sekaligus keringkihan yang menyertai mereka sebagai manusia yang memimpin manusia lain.

Peningkatan ketegangan kemudian menjadi semakin destruktif ketika masing masing kandidat membuka borok dan atau bahkan terbuka rahasia strategi licik mereka untuk memenangkan kursi yang seharusnya menjadi wakil Tuhan yang Maha Kudus. Manusia manusia pendosa digambarkan secara gamblang dalam skenario yang mengingatkan umat akan kesaharian yang terjadi semua strata pemilihan pemimpin mulai dari Pilihan Presiden sampai Pemilihan Kepala Desa.

Namun, film ini menjadi begitu memberkati ketika dari awal pernytaan Kardinal Lawrence sebagai pemimpin sidang yang luar biasa. Dalam homilinya ia mengatakan, “Iman Kita adalah hal yang hidup karena Berdampingan Dengan keraguan. Kalau hanya ada Kepastian tanpaKeraguan, tidak akan ada misteri. Dan jika demikian tidak diperlukan iman.Mari Kita berdoa agar Allah memberikan Paus yang Ragu. Dan Biarlah Allah memberikan kita Paus yang berdosadan terus meminta pengampunan dan berjalan terus”

. Sebuah pernyataan yang menyiapkan semua peserta Conclave untuk siap secara Rohani, sosial maupun individual menghadapi proses walau tak mudah.

Dengan piawai disertai dengan keterbukaan untuk mendengar, sekaligus mengajak partisipasi yang terbuka, menunjukkan bahwa figure Kardinal Lawrence adalah “alat Tuhan” yang mampu menggembalakan kawanan domba para Kardinal Agung. Dalam ketegasannya, terselip keraguan dan dalam jebakan berbagai intrik yang bisa saja merusak totalitas proses, sang Kardinal pemimpin Conclave berkarya dalam hikmat yang luar biasa. Ia mampu menunjukkan akuntabilitas seorang pemimpin Rohani yang tidak haus kuasa dan berserah sepenuhnya kepada proses yang partisipatoris.

Akhirnya Paus yang terpilih adalah seorang manusia biasa yang tidak flamboyan dalam penampilan apalagi dalam pencapaian. Ia seorang manusia biasa yang bahkan hampir gagal dilantik, walaupun sudah terpilih, karena ada kekurangan yang bisa menjatuhkannya sebagai pendosa. Ketika jatidirinya “tebongkar” ia mengakui apa adanya sebagai kekurangan, namun ia juga menjelaskan kepada sang pemimpin, bahwa ia menerima dirinya apa adanya, ia berterima kasih kepada Tuhan yang menjadikan dia apa adanya, dan ia mensyukuri untuk Kasih Karunia yang ia alami.

Kardinal Benitez yang terpilih menjadi Sri Paus adalah kisah kemustahilan, kendati ia memiliki hati dan Nurani yang bersih. Kehidupannya yang jernih terlibat dalam pelayanan perdamaian dan perhatian kepada yang terbuang bagaikan sang Yesus yang ia layani, walaupun kerap ia harus bergumul dengan kondisi dirinya yang memiliki kekurangan. Disinilah film ini menjadi sebuah “khotbah” Kasih Karunia yang paripurna. Seorang pendosa, berkekurangan, namun dipakai Tuhan untuk menjadi berkatNya sudah memenuhi semua kriteria yang “dipilih Tuhan untuk menjadi Paus.

Setelah hampir sebulan film Conclave hadir dalam perbincangan umum, secara khusus warga Gereja, maka memasuki Minggu Sengsara/Pekan Suci ini pemaknaan film ini menjadi sebuah amunisi persiapan batin setiap umat untuk menginspeksi jati dirinya masing masing. Meditasi untuk kisah Allah yang mau mengosongkan diri menjadi sama dengan manusia menjadi begitu jelas dalam penyampaian pesan film ini. Pekan Suci adalah ketika Gereja memperingati Kasih Allah yang tidak mau terbelenggu hanya oleh karena dosa dan kejahatan kita. Ia tetap mengasihi kita apa adanya.

Ya, kasih Allah apa adanya, siapapun kita, rohaniwan, pemimpin gereja, atau orang biasa yang bergumul dengan kehidupan sehari hari. Yesus yang menderita di kayu Salib itu tahu semua rahasia kehidupan kita. Tuhan tahu semua intrik jahat, kerakusan akan kekuasaan dan upaya menang sendiri kita kalaupun itu harus mengorbankan orang lain. Namun di Salib, Ia hadir menerima semua kebersalahan dan dosa kita, Ia tunjukkan totalitas untuk menerima, bahkan memakai kita untuk menjadi AlatNya menjadi berkat dalam dunia yang penuh kejahatan dan dosa.

Menurut CS Lewis, seroang Filsuf Kristen Inggris, “It costs God nothing so far as we know, to create nice thing: but to convert rebellious wills cost him crucifixion”. Ketika Allah menciptakan dunia dan segala kebaikannya Allah begitu mudah melakukannya, namun ketika memperbaiki kejatuhan dan kehendak pemberontakan kita, Ia harus menempuh Jalan Salib.

Makna Minggu Sengsara menjadi begitu transparan ketika pesan Salib disandingkan dengan Plot film Conclave. Semua dari kita, termasuk Para Pemimpin umat memerlukan Kasih Karunia. Tidak ada yang bisa membanggakan diri menyatakan Ia lebih hebat dari yang lain dan sebaliknya tidak ada seorangpun yang bisa menghilangkan peran Kasih Karunia Allah melalui karya SalibNya. Dalam hidup yang kerap semakin gelap melihat kanan dan kiri, menonton Conclave mengingatkan kita akan keringkihan kita.

Keringkihan itu sudah, sedan dan akan terjadi  tidak hanya dalam cerita Gereja Katolik Roma dan kepemimpinan Paus, namun di semua level virus haus kekuasaan dan intrik sudah menjadi wabah yang merusak pesan SALIB. Dalam perebutan kursi kepemimpinan Gereja, sinode, dan lembaga Kristen apapun semuanya pernah terjadi. Bahkan hal yang sama juga terjadi ketika seorang pendeta yang harusnya menjadi gembala harus berkonflik dengan jemaatnya karena isu kekuasaan, harta dan fasilitas. Dengan kepala tunduk kita harus trenyuh untuk berbagai berita yang bukan hanya merusak bangsa dan negara dalam isu politik, kekuasaan dan korupsi. Kita juga tak pelak harus mengurut  data melihat kerusakan “gereja” dan pemimpin gereja yang lupa akan pesan Salib.

Memasuki Minggu Sengsara, biarlah Salib Kristus mengingatkan bahwa tangannya yang terbentang di Kayu Salib meupakan simbol Ia menerima kita apa adanya. Ia kemudian  rela berkorban menderita untuk memeluk kita dalam haribaan Kasih Karunia sehingga tidak ada seorangpun yang bisa berbangga untuk semua pencapaian yang telah dihasilkannya. Hanya kasih karunia, sola gratia. Amin

Bagikan Artikel Ini
img-content
Victor Rembeth

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Analisis

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Analisis

Lihat semua